Harapan tinggal harapan. Untuk keempat kalinya, kita gagal menjadi juara di AFF Suzuki Cup 2010. Hanya tinggal selangkah, dan semuanya buyar di Stadion Bukit Jalil, Malaysia. Memang ini menyakitkan, tidak bisa melihat Tim Nasional yang kita banggakan, yang berjaya di penyisihan grup, dipecundangi begitu saja oleh Harimau Malaya. Memang menyakitkan, kita tidak bisa mencium dan memegang piala tersebut. Tapi ini tidak semenyakitkan itu, jika kita melihat permainan Ahmad Bustomi, Muhammad Nasuha dan Arif Suyono. Permainan ciri khas bangsa Indonesia, bangsa ini, permainan dengan semangat juang yang tinggi dan tidak gentar terhadap apapun.
Menangislah Irfan Bachdim, menangislah sekarang dan engkau akan tersenyum nanti. Buktikan kepada dunia, dan kepada seluruh rakyat Indonesia, kami tidak salah menaturalisasi kamu dan Christian Gonzales. Lupakan kesalahanmu Maman, kamu bukan tuhan yang tidak memiliki kekurangan. Salutku kepadamu Hamka, emosimu yang dulu sering mendatangkan bencana untukmu, sudah berganti dengan ketenangan bagai air dalam penampungan. Kami memang sedih kalian gagal mendapatkan piala itu, tapi kami akan lebih sedih jika kalian tidak berbenah. Kalian telah mendatangkan sebuah hiburan untuk masyarakat Indonesia, ditengah maraknya kasus Gayus dan Ariel Peterpan, yang terlalu sering mendominasi televisi kita, kalian memberikan senyuman kepada masyarakat Indonesia. Muda dan tua. Kaya dan miskin. Semua bangga melihat perjuangan kalian.
Jangan kalian pertaruhkan kebahagiaan kalian dalam sepakbola dengan sebuah bonus. Atau sekedar jamuan makan yang tidak ada dalam jadwal rutin kalian. Mereka memang pejabat, mereka memang orang berada yang sanggup memberikan kalian uang yang berlimpah. Tapi tahukah kalian, diluar sana banyak orang tersenyum melihat kalian di layar kaca. Bukan karena bonus yang kalian terima, atau kalian berhasil berjabat tangan dengan politikus itu. Dan bukan juga karena kalian mendominasi siaran-siaran televisi sekarang. Tapi karena melihat perjuangan kalian. Perjuangan yang sudah lama hilang dari sosok tim, yang dulu, begitu ditakuti di asia tenggara.
Terima kasih Alfred Riedl, kau memberikan warna baru di tim yang sudah lama kita nantikan perubahan. Kau membuat kita melupakan masa lalu yang kelam, dan menggantikannya dengan secercah harapan yang kami yakin, kalian bisa menggapainya. Kami, tidak pernah seyakin ini. Kau sudah menggeser pesimisme bangsa ini yang telah lama bernaung di setiap raga orang Indonesia. Dan kami yakin, pihak yang memecatmu dari kursimu sekarang hanyalah orang-orang bodoh yang tidak mengerti sepakbola, dan tidak berdedikasi untuk sepakbola. Mereka tidak memikirkan nasib kalian, TimNas-ku tercinta, tidak pernah. Hanya sedikit kamuflase agar kantong tidak pernah kosong.
Untuk bapak-bapak yang terhormat, yang berkantor di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Bapak-bapak yang terhormat, yang selalu berkoar-koar tentang impian memajukan sepakbola negeri ini. Bapak-bapak yang berpakaian rapi, dan tidak pernah merasakan keringat bercucuran disekujur tubuh untuk mencetak sebuah gol. Saya hanya seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya, tapi saya tidak bodoh untuk bisa melihat keadaan organisasi yang selalu kalian banggakan. Organisasi ini sudah bobrok bapak-bapak yang terhormat. Sudah usang di pondasinya, dan kotor disetiap temboknya. Kalian memang selalu mencoba menutupi kekotoran itu, bapak-bapak yang terhormat. Tapi kami tidak butuh seluruh bangsa Indonesia untuk melihatnya, hanya 80.000 orang yang datang kemarin.
Bapak-bapak yang terhormat, tolonglah dengar teriakan-teriakan pencinta sepakbola Indonesia diluar kantormu. Kantormu bukan studio band yang kedap suara bukan? Dengar teriakan mereka, lihat apa yang bisa mereka perbuat, dan renungkan. Ini sudah saatnya organisasi sepakbola Indonesia, dijalankan oleh orang-orang yang mengerti sepakbola, bukan politik colek sana colek sini.
Ini sepakbola pak, dimana semua impian dimulai dan kebahagiaan menemukan tempatnya. Jangan renggut kebahagiaan dan impian kami, para pencinta sepakbola Indonesia!